Senin, 31 Mei 2010

FORUM DISKUSI & KONSULTASI


FORUM DISKUSI & KONSULTASI

MENGINGAT SI MACAN SURYALAYA ITU ADALAH SOSOK ULAMA SUFI PENGAMAL AJARAN TAREKAT QODIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH (TQN. DAN JUGA SUDAH SAMA-SAMA KITA MAKLUMI BAHWA AMALIYAH TAREKAT TIDAK LEPAS DARI PELAKSANAAN DZIKIR, MANAKIBAN, RABITHAH, RIYADHOH, DAN LAIN-LAIN YANG BERBEDA DENGAN AMALIYAH UMAT ISLAM PADA UMUMNYA, MAKA TIDAK ADA SALAHNYA JIKA FORUM DISKUSI DAN KONSULTASI INI KAMI BUKA.

SEMOGA DAPAT MENAMBAH KEYAKINAN SERTA MENDATANGKAN INSPIRASI DAN MOTIVASI BAGI PENGAMAL AJARAN TAREKAT UNTUK MENINGKATKAN AMALIYAH DALAM RANGKA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT. AMIN YA ROBBAL ALAMIN.

Dan jadilah kamu seorang pencari faedah
berenang dalam lautan faedah-faedah.
Dan ingatlah…!
Setiap yang beramal tanpa ilmu
Amalnya tertolak tidak akan diterima.

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM… DENGAN NIAT “ILLAHI ANTA MAQSUDI WARIDHOKA MATLUBI, ATINI MAHABBATAKA WA MA’RIFATAKA”, FORUM DISKUSI & KONSULTASI INI KAMI BUKA

Sahid Arifin al Satari

Jumat, 28 Mei 2010

BIOGRAFI MACAN SURYALAYA


Salah satu penghargaan tertinggi dari Tuhan pembina semesta alam adalah ketaqwaan, dan ini hanya diberikan Allah swt kepada para Nabi, para waliyullah, dan para pengikutnya. Sebutan atau penghargaan bagi seseorang adalah karena keadaan, kemampuan atau prestasi yang dicapainya sebagai kehormatan dari seseorang atau lebih. Gelar kehormatan dengan julukkan “Macan Suryalaya” kepada KH. Muhammad Abu Bakar Faqih adalah wajar adanya karena kyai Faqih semenjak kecil hingga akhir hayatnya berkhidmat dan berbakti di Patapan Suryalaya dengan berbagai keahlian. Tak mudah, memang, memotret beliau hanya dari satu sisi. Sebab, suatu saat ia tampil sebagai ahli hikmah, dan ulama serba bisa, tapi banyak juga yang menganggap dia sosok ulama spiritual. Ya, bak kata pepatah, melihat matahari hanya dari satu sisi, maka melihat kyai Faqih harus dari segenap jurusan.

Sosok macan atau harimau melambangkan kekuasaan, dan keperkasaan. Sebagai pribadi memegang kendali kekaguman dan kehormatan dari segala penjuru, ia adalah pejuang tak mengenal rasa takut. Ada beberapa gelar kehormatan yang berhubungan dengan sebutan macan, antara lain: Utaiyrus, Macan Kemayoran, Macan Kampus, Macan Siliwangi, Macan Asia, dan sebagainya. Mengenai gelar "Al-Aidrus" berasal dari kata "Utaiyrus" yang dalam bahasa Indonesia berarti bersifat seperti Macan atau Singa. Julukan yang disandang oleh beliau karena di masa kecilnya al Aidrus selalu dipanggil (dijuluki) oleh datuknya syekh Abdurrahman Asseggaf dengan julukan "Utaiyrus", karena keberaniannya menghadapi manusia, dan mahkluk halus.
Sedangkan sebutan Macan Kemayoran adalah maskot tim Persatuan Sepakbola Jakarta disingkat Persija. Persija merupakan tim kebanggaan masyarakat Jakarta, setiap tim Persija melakukan pertandingan, para suporter yang akrab disapa The Jakmania ini selalu membawa maskot Macan Kemayoran ke tengah lapangan. Juga mengenai gelar Macan Asia, mungkin tak ada salahnya kita bernostalgia belasan tahun silam. TNI (dulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia disingkat ABRI) pernah menyandang predikat sebagai 'Macan Asia'. Predikat itu dicapai karena TNI memiliki kekuatan yang tidak mudah dilumpuhkan oleh berbagai rongrongan. Di dalam negeri sekalipun Tentara Nasional Indonesia menjadi kekuatan yang sangat diandalkan. Bahkan, track record-nya dalam menjaga keutuhan negara patut diacungkan jempol. Boleh jadi karena saat itu peran TNI bukan semata sebagai penjaga negara tetapi hadir pula sebagai penegak negara dengan melibatkan diri dalam sosial politik negeri ini. Inilah yang kemudian disebut sebagai Dwi Fungsi ABRI. Juga mengenai julukan Macan Siliwangi, yakni sebutan bagi para prajurit Prabu Siliwangi yang terkenal tangguh, kuat, dan pejuang tak kenal rasa takut. Adapun gelar Macan Suryalaya yang disandang oleh KH. Muhammad Abu Bakar Faqih karena hidmat dan pengabdiannya kepada guru spiritualnya di Patapan Suryalaya (menurut beberapa sumber dari: Ajengan Omo, H. Dudung, ajengan Iin Sadawangi, Mang Acu (Ahmad Maksum) warga Godebag Suryalaya).

Mengenai sifat sang macan, ia adalah pribadi yang menyenangkan buat diajak bergaul, dan tidak dapat dipungkiri seringkali macan menjadi pusat perhatian. Pembawaan Macan juga tulus, penuh kasih sayang dan murah hati. Di samping itu ia lebih sering menyendiri namun memiliki selera humor mengagumkan yang menyentuh perasaan publik, berkepala dingin, pribadinya terasa hangat, sensitif dan simpatik. Di lubuk hati, Macan adalah orang yang amat romantis, ia senang melucu, namun juga mesra.
Secara keseluruhan, kehidupan Macan memang berubah-ubah, diwarnai oleh tawa-ria, air mata, kegembiraan, dan oleh setiap perasaan lain yang dikenal manusia. Meskipun demikian, jangan sekali-kali mengasihani dirinya. Macan adalah pribadi yang luar biasa optimis, yang akan selalu siap kembali bagi tantangan baru. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa raja hutan adalah seekor macan atau harimau, karena ia sangat ditakuti dan disegani hewan lainnya, dan dirinya mampu melindungi hutan belantara dari gangguan tangan-tangan jahil manusia. Sang Macan pun akan merasa aman kalau dirinya tetap tinggal di hutan belantara diselimuti pepohonan nan rindang. Begitu juga dengan si Macan Suryalaya, di bawah naungan pohon Toyyibah dirinya merasa aman dan tidak ada rasa kekhawatiran meghadapi segala persoalan hidup. Dalam sejarahnya ia pernah diangkat Abah Sepuh sebagai salah satu guru mursyid TQN untuk mengasuh, membimbing manusia bermahabbah dan bermarifat kepada Allah Swt. Supaya pohon toyyibah itu tetap tegak, ia melestarikan, mengamankan, serta menyebarkan pohon tersebut, berupa kalimat taqwa, kalimat taubat, kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat angkasa perkasa, kalimat talqin, yakni kalimat Laa ila ha illallah. Maka alangkah baiknya jika kita mengikuti keteladan beliau dalam hal hidmat dan berbakti kepada guru spiritualnya, sehingga bermunculan Macan-Macan Suryalaya berikutnya yang mampu mengamalkan, melestarikan, dan mengembangkan TQN di bawah naungan pondok pesantren Suryalaya. Akhlakul karimah dan keteladanannya diakui dan di telusuri jejaknya oleh para keturunannya, ikhwan-akhwat TQN maupun umat muslimin dan muslimat pada umumnya.


SELAYANG-PANDANG
Abu Bakar Faqih dilahirkan di kampung Sukapulang, desa Kerta Raharja, kabupaten Ciamis, Jawa Barat sekitar tahun 1880 M. Nama lahir Abu Bakar Faqih adalah Abdul Salam. Orang tuanya bernama RA Raksadinata dan Khodijah. RA. Raksadinata masih keturunan keluarga besar kerajaan Panjalu di Jawa Barat. Abdul Salam lahir dari keluarga cukup terpandang dan disegani warga sekitar. Dia mempunyai saudara kandung, yaitu Kaip, Sanuhri, dan Uha (adik perempuannya). Uha menikah dengan seorang pria, adik dari Abah Sepuh yang bernama Nur Hammad, diantara saudara-saudaranya, Abdul Salam adalah anak yang cerdas dan pintar. Di kemudian hari, Abdul Salam dikenal dengan sebutan Abu Bakar Faqih, Aki Ami, Mama Kiai Faqih atau Abah Faqih.

RA. Raksadinata yang akrab dipanggil Eyang Raksa memiliki beberapa sanak saudara dan kerabat yang tersebar dibeberapa daerah. Adalah KH. Abdullah Mubarrok (Abah Sepuh) kerabat terdekat yang pernah berminat mengasuh putranya untuk dijadikan sebagai anak angkat. Dengan senang hati, eyang Raksa menyambut baik keinginan KH. Abdullah Mubarrok. Salah satu keturunan yang diinginkan oleh kerabatnya yaitu Abdul Salam, ketika itu masih sangat belia berusia 5 tahun. Selain karena percaya kepada kerabatnya, Eyang Raksa juga teringat akan ucapan seseorang yang pernah datang untuk bersilahturahmi ke rumahnya. Orang tersebut memberitahukan sesuatu kepadanya bahwa kelak, anaknya (Abdul Salam) akan menjadi seorang pembesar atau seorang ulama yang disegani dan dibutuhkan ilmu dan doanya oleh banyak orang. Karena itu Eyang raksa dengan Ikhlas menyerahkan anak lelakinya kepada Abah Sepuh dengan iringan doa semoga nanti putranya menjadi anak yang soleh, berbakti kepada kedua orang tua, bertaqwa kepada Allah SWT, serta berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Amin.

Untuk bekal hidupnya kelak dan juga membantu perjuangan ayah angkatnya, Faqih muda menimba berbagai ilmu agama. Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) sendiri yang menjadi guru pembimbing Abah Faqih. Ia belajar membaca dan mendalami Al Quran, belajar sholat, belajar puji-pujian (solawat), juga belajar dasar-dasar ilmu keagamaan, seperti Ushuludin dan ilmu Fiqih. Ia menekuni setiap pelajaran ilmu keagamaan dengan sungguh-sungguh. Dengan kepintaran dan kecerdasan yang dimiliki, ia dapat memahami dan menguasai semua pelajaran yang disampaikan gurunya. Karena kecerdasan dan kepintarannya pula, nama kecilnya yang dahulu bernama Abdul Salam diganti menjadi Abdullah Faqih.

Selain belajar berbagai dasar ilmu keagamaan, faqih juga belajar dzikir mendalami ilmu Tarekat dari syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad. Gurunya pun terkesan dengan kelebihan yang ada pada dirinya. Dari kekaguman sang guru, namanya yang dahulu bernama Abdullah Faqih diganti menjadi Abu Bakar Faqih. Hal ini disebabkan syekh mursyid memuji sesuatu yang terhujam teguh/dzikir khofi yang kuat di dalam hati Abu Bakar Faqih.

Peristiwa tersebut mengingatkan kepada kita, bahwa pada zaman dahulu Rasulullah saw pernah memuji sahabat yang bernama Sayidina Abu Bakar As Shidiq. Bukan karena sahabatnya itu banyak puasa dan sholat, melainkan karena sesuatu yang terhujam teguh di dalam hati sahabatnya, yakni dzikr khofi atau dzikir samar. Dalam kebanyakan tarekat, umumnya silsilah bersambung ke Nabi Muhammad saw melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, namun tarekat Naqshabandiyyah jalurnya melewati Sayyidina Abu Bakar as-Shidiq. Salah satu ajaran rahasia dari Nabi Muhammad saw diajarkan kepada Sayidina Abu Bakar, yakni zikir khofi (zikir diam), yakni menyebut ismu Dzat di dalam hati. Dzikir khofi ini kemudian dilestarikan melalui jalur wali-wali Allah, dan menjadi terkenal setelah dijadikan amalan seorang “Wali Qutub”, Syekh Bahauddin an-Naqshabandi, sang pendiri tarekat Naqsyabandi.

Abu Bakar Faqih sejak muda telah dikaruniai kasyaf dan kelebihan lain berkat amalannya yang istiqamah. Berbagai ajaran yang disampaikan dari ayah angkatnya seperti dzikrullah, khotaman, dan hidmat manaqib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kelak setelah dewasa iapun pernah mendapat kesempatan dari Abah Sepuh melaksanakan latihan-latihan ruhani (Riyadhoh Khusus) seperti: mengurangi tidur, mandi dini hari (mandi kemanusiaan, Syahadat Jati dll), kemalaikatan, amalan hizib terutama doa Saefi Hijbul Yaman, puasa-puasa sunah termasuk puasa kifarat, Insan Kamil, sangga Bumi, dan sebagainya. Ia juga giat mengerjakan solat-solat sunat, berziarah ke makam para wali, berkholwat dan sebagainya. Mengenai pelaksanaan latihan ruhani (riyadhoh) bertujuan untuk melunakkan hati, sehat, tentram. Mensucikan hati sehingga dapat mendekati diri pada Sang Maha Pencipta. Banyak orang beranggapan bahwa kegiatan latihan ruhani yang ia kerjakan adalah bid’ah. Sebenarnya riyadhoh yang beliau kerjakan atas arahan dan bimbingan ayahnya dapat disejajarkan dengan olahraga.

Di dalam sejarah kehidupannya ia telah menorehkan tinta emas sebagai ulama spiritual yang ikut berjasa mendirikan Patapan Suryalaya untuk mengamankan, melestarikan, menyebar luaskan ajaran Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyyah (TQN).
Meskipun demikian beliau merasa hanya menyumbangkan sebagian kecil pengabdian untuk kejayaan agama, khususnya Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyah di Patapan Suryalaya. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:
“Saya bukanlah yang membangun Patapan tersebut, saya hanya sekedar yang memanggul kerikil dan pasir saja”.

Seolah-olah kerikil dan pasir sumbangannya itu di bawah tumpukkan bahan-bahan lainnya dari jutaan ikhwan TQN Suryalaya yang ikut menyelamatkan dan mengembangkan, serta mendukung bangunan tersebut. Berkat rahmat Allah SWT dimasa hidupnya beliau diangkat Abah Sepuh sebagai salah satu guru mursyid TQN di Patapan Suryalaya. (lihat buku kenang-kenangan Hari Ulang Tahun Pondok pesantren Suryalaya ke 95, dan buku Satu Abad Ponpes Suryalaya, diterbitkan Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya).

Dalam melestarikan, mengamankan, dan menyebarluaskan ajaran TQN Patapan Suryalaya, Abah Faqih menjadikan sebuah masjid dan tempat kediamannya sebagai wadah melatih diri dalam bertasawuf, yaitu pekerjaan dzikir, sholat-sholat sunat, khotaman, manaqiban, berpuasa, berkholwat, muroqobah, muhasabah, dan riyadhoh khusus lainnya.

Di tahun 1980an, karena usianya yang sudah lebih dari seratus tahun ditambah kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk sering berpergian, beliau menunjuk putranya yang bernama H. Dudung meneruskan perjuangannya menyebarkan agama Islam bernuansakan tasawuf di bawah panji pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat. Kenyataan memang tidak bisa ditutup-tutupi, hal ini sesuai dengan ucapan syekh mursyid pangersa Abah Anom kepada H. Dudung pada tahun 1960 M di Patapan Suryalaya. Kala itu usia haji Dudung masih belia dan belum berumah tangga (bujangan). Beberapa tahun setelah ia menetap di Suryalaya, haji Dudung mohon restu kepada gurunya untuk mengembara, ketika itu pangersa Abah Anom memberitahukan bahwa kelak dirinya sebagai pengganti dan penerus Abah Faqih:
“Maneh bakal dijadikeun pengganti bapak maneh di dieu”..... (Maksudnya adalah, bahwa kamu kelak akan dijadikan sebagai pengganti bapakmu di sini).

Dengan penuh kepasrahan H. Dudung menerima apa yang telah disampaikan guru spiritualnya, kelak jika telah tiba waktunya ia akan menjadi penerus dan pengganti ayahnya, syekh Muhammad Abu Bakar Faqih si Macan Suryalaya. Mengenai keabsahannya, bagi para pembaca yang meragukan hal tersebut dipersilahkan “langsung” bertanya kepada syekh mursyid pangersa Abah Anom, dan bukan kepada yang lain, alhamdulillah kini beliau masih sehat walafiat dan semoga dipanjangkan usia dunianya, amin.

Subhanalloh...
Bagi seorang musafir yang mencari penerang di malam kelam,
cahaya bulan dapat menuntun perjalanan.
Padahal itu hanyalah sinar pantulan, namun mampu meneruskan sinar mentari yang telah ditelan bayangan.
Semoga jiwa yang baik menerima bagian yang sudah disediakan… amiin.

Setelah sang Macan Suryalaya telah tiada, perjuangannya kini diteruskan oleh haji Dudung Zaenal Abidin (Ahmad Abidin) dengan mendirikan majlis dzikir atau Zawiyah di sekitar pondok labu (pangkalan jati) yaitu padepokan untuk sarana melatih diri dalam bertasawuf. Ketika reputasinya berkembang di tahun 1990an, H. Dudung dan keturunannya diterpa “iklan gratis nan jitu”, ghosip berupa hinaan, maupun fitnahan. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon semakin keras terpaan angin, itu pula yang dialami H. Dudung. Semakin ia berkibar, semakin banyak isu yang mengguncangnya. Ia telah dianggap sesat dan menyeleweng. Kini jika ada orang menyebut “H. Dudung dari Pondok Labu” pasti keluarnya yang jelek-jelek, dan ada pula yang menyebut dirinya adalah seorang buta huruf, statusnya sosial rendah, seorang dukun, gelandangan, dan sebagainya. Semuanya ia terima dengan tangan terbuka, dengan alasan ini adalah alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang timbul tenggelam pada diri manusia dan hal seperti itu bisa saja terjadi di kalangan orang-orang ahli dzikir, bahkan mereka sendiri yang menyebar isu seperti itu. Menurut H. Dudi Riswan. SH seorang ikhwan dan pengusaha eksekutif asal Batam mengatakan bahwa, hinaan dan fitnahan terhadap haji Dudung dan keluarganya ibarat snaw ball (bola salju), menggelinding semakin jauh dan besar sampai mancanegara.

Siapakah sebenarnya H. Dudung Ahmad Abidin? Dan mengapa sebagian saudara kita yang seiman dan seaqidah sampai hati menghujat, dan memfitnahnya? Memang, suka duka yang dialami Macan Suryalaya beserta keturunan merupakan romantika perjalanan hidup yang menarik untuk di simak, sehingga yang asalnya samar menjadi jelas, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika kita mampu menyikapinya dengan matahati, bukan nafsu dan akal saja, maka insya Allah kita bisa menemukan hikmah dan dapat mengambil manfaatnya. Dan semoga Allah swt membuka pintu hati kita untuk memahami segala kehendak dan takdir-Nya. Amin Yaa Robbal ‘alamin.

Dikutip dari buku: Macan Suryalaya-Perjalanan dan Pengabdiannya
oleh: Sahid Arifin al Satari